Tete Kilu dan Kenangan yang Terlupakan

Tete Kilu dan Kenangan yang Terlupakan

Mengingat tete kilu (gaplek) seperti mengingat serpihan masa lalu yang tercecer berantakan dan masa kecil yang dengan malu-malu dikenang. Ketika Indonesia diterpa badai krisis moneter yang menggemparkan, sejarah mencatat bahwa telah terjadi kelaparan berkepanjangan dan menyedihkan. Tak ada beras yang melimpah seperti saat ini. Makan nasi tiga kali sehari hanya berlaku bagi ata bora ‘orang kaya’. Pada situasi itulah tete kilu hadir bak pahlawan yang menyelamatkan. Tahun 90-an hingga 2.000-an barang kali merupakan akhir dari masa kejayaan tete kilu. Generasi yang lahir pada periode in bisa jadi merupakan generasi terakhir yang masih lahir dan dibesarkan dengan tete kilu. Saat ini, peran tete kilu telah digantikan oleh beras. Tete kilu hampir tak pernah lagi muncul dipermukaan.

Jauh sebelum beras akrab di mulut dan diperut orang Manggarai serta hamparan sawah membentang sejauh mata memandang di area persawahan kecamatan Lembor dan beberapa di tempat lain, ubi kayu atau singkong adalah makanan pokok. Ubi kayu adalah pilihan utama untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Pada masa kelaparan akhir tahun 1990-an hingga memasuki tahun 2000-an, ubi kayu masih merupakan pangan utama bagi sebagian besar masyarakat di wilayah pengunungan, terutama yang tidak memiliki sawah.

Pada masa lalu, ubi kayu bertumbuh subur dan banyak menghiasi kebun serta ladang orang Manggarai di dataran tinggi. Bahkan, tanaman ini selalu ada di setiap kebun. Ubi kayu biasanya ditanam bersamaan dengan jagung dan beberapa jenis hortikultura lain. Ubi kayu dan jagung menjadi pilihan utama karena keduanya adalah makanan utama bagi orang Manggarai pada masa itu.

Jagung selalu ditanam terlebih dahulu. Jika jagung sudah mulai bertunas, diikuti dengan menanam ubi. Cara menanam seperti ini suatu hal yang cukup unik. Orang Manggarai pegunungan tidak pernah menanam hanya satu jenis tanaman di kebun mereka. Ubi selalu ditanam bersamaan dengan jagung dan juga beberapa jenis tanaman jangka pendek yang lain.

Tete Kilu dan Musim Kemarau

Tete kilu diolah dari ubi kayu yang diiris, lalu dikeringkan dengan cara dijemur di bawah sinar Matahari. Setelah diiris, tete kilu langsung dijemur di tanah tanpa menggunakan wadah khusus. Tete kilu biasanya dijemur sekitar 4-5 hari. Makanan mentah ini disimpan dengan baik sebagai bahan makanan pada musim kemarau. Bila masa panen ubi kayu telah tiba, seluruh pekarangan rumah dipenuhi dengan tete kilu yang dijemur dan dikeringkan di bawah sinar Matahari. Setelah kering, tete kilu akan disimpan dengan baik dalam roto lancing (wadah berukuran besar yang terbuat dari anyaman bambu) dan disimpan di lobo (loteng). Selain disimpan untuk bahan makanan saat musim kemarau tete kilu juga dijual untuk kepentingan tertentu. Tete kilu merupakan olahan yang dibawa oleh orang Manggarai ke pasar tradisional. Orang-orang dari gunung membawa tete kilu untuk ditukarkan dengan ikan, garam, ataupun bahan makanan lainnya. Pasar tradisional yang tetap mempertahankan sistem barter ini adalah pasar Nangalili Kecamatan Lembor dan pasar Warloka Kecamatan Komodo. Pasar Warloka sampai hari ini menjadi saksi perjumpaan paling istimewa antara orang-orang dari pegunungan dan orang-orang pesisir di wilayah Kabupaten Manggarai Barat.

Berdasarkan gambaran Muhamad Boeharto, seorang pegiat wisata Labuan Bajo yang juga berasal dari kota ini, pedagang-pedagang dari Nangaili (Kecamatan Lembor), Mata Wae, dan Golo Sengang (Kecamatan Sano Nggoang) menghabiskan waktu sehari-dua hari mendaki dan menuruni gunung hanya untuk membeli barang-barang yang diperlukan di Pasar Warloka. Mereka menggunakan kerbau sebagai alat transportasi. Di pasar Warloka, mereka menjual hasil pertanian, seperti ubi, jagung, sayur-sayuran, kemiri, serta hasil kebun lainnya.

Sebagai gantinya, mereka akan membawa pulang ikan, garam, serta hasil laut yang lain. Perjumpaan antara orang-orang gunung dan orang-orang dari pulau menjadikan Pasar Warloka tidak hanya sebagai tempat transaksi. Pasar ini juga sebagai tempat pertukaran informasi, pembauran budaya, dan pencampuran bahasa antara orang-orang gunung dan orang-orang dari pulau  yang mayoritas adalah suku Bajo. Hal ini kemudian melahirkan generasi yang kaya akan budaya dan bahasa. Tak jarang ditemukan orang-orang di daerah pesisir Labuan Bajo yang fasih menggunakan bahasa Manggarai, bahasa Bima, dan bahasa Bajo.

Tete kilu sebagai bahan makanan dapat diolah dan disajikan dengan berbagai macam cara. Pengolahan ini sangat sederhana sebab menggunakan peralatan sederhana. Jika tete kilu sudah siap, seluruh anggota keluarga duduk di sekitar sapo (tungku api) dan mulai makan bersama- sama.

Orang Manggarai beberapa tahun lalu tidak mempunyai tempat khusus untuk makan. Mereka biasanya menyantap makanan di sekitar sapo atau duduk melingkar di atas tikar pandan. Ketika menikmati tete kilu pun, orang Manggarai menggunakan wahana sapo atau lutur (ruang tamu) yang telah digelari tikar. Kebiasaan makan ini masih dipraktikkan di pedalaman Manggarai.

Tete Kilu dan Hasil Olahannya

Tete kilu bisa diolah menjadi koil, sobol, mbolek, dan rakap. Pertama, koil. Tete kilu yang akan diolah menjadi koil dicuci dengan air hingga bersih, lalu dimasukan ke dalam lewing tanah (periuk tanah) dan dimasak dengan air dalam tungku api. Mengolah tete kilu menjadi koil paling banyak dilakukan karena tidak membutuhkan waktu terlalu lama dan tidak membutuhkan banyak bahan.  

Kedua, sobol. Proses pembuatan sobol sedikit rumit karena meskipun menggunakan alat dan bahan yang sederhana, prosesnya membutuhkan kesabaran dan keterampilan khusus. Tete kilu yang sudah kering ditumbuk sampai halus seperti tepung, lalu dicampur dengan air. Campuran air dan tepung dimasukkan ke dalam gogong (wadah dari bambu). Air dididihkan dalam periuk tanah. Gogong yang berisi adonan sobol ditaruh di atas lewing tana. Uap air yang mendidih dalam lewing tanah akan masuk ke dalam gogong yang telah dilubangi hingga sobol matang.

Ketiga, mbolek. Mbolek merupakan cara alternatif dalam mengolah adonan tepung tete kilu yang telah dicampur air. Cara ini tergolong sederhana. Adonan tepung tete kilu ditempelkan pada sebatang kayu berukuran kecil, lalu dipanggang dalam bara api. Kebiasaan membuat mbolek merupakan selingan sambil menunggu sobol matang.

Keempat, rakap. Rakap hampir sama dengan mbolek. Perbedaannya terletak pada media yang digunakan saat dipanggang dalam bara api. Mbolek menggunakan kayu kecil, sedangkan rakap menggunakan tutupan lewing tanah sebagai media memasak. Adonan tepung tete kilu ditempel pada tutupan periuk tanah, lalu dipanggang pada bara api. Olahan tete kilu ini senantiasa menemani perjalanan orang-orang Manggarai pada masa lalu hingga kini.

Tete kilu telah menjadi penghubung antara kebun dan rumah tempat orang Manggarai mengolah dan menikmati hasil alamnya. Mereka merayakan kerja keras dan karya tangannya di dalam wilayah yang penuh kehangatan dan cinta kasih.


Tete Kilu and Forgotten Memories

Remembering tete kilu (gaplek) is like remembering fragments of the past that were scattered in a mess and a childhood that was shyly remembered. When Indonesia was hit by a devastating monetary crisis, history records that there was a prolonged and sad famine. There was no such abundance of rice as there is now. Eating rice three times a day only applies to ata bora 'rich people'. In that situation, Tete Kilu appeared like a hero who saved the day. The 90s to 2,000s were perhaps the end of tete kilu's heyday. The generation born during this period could be the last generation still born and raised with tete kilu. Currently, the role of tete kilu has been replaced by rice. Tete kilu almost never appears on the surface anymore.

Long before rice became familiar to the mouths and stomachs of Manggarai people and the rice fields stretched as far as the eye could see in the rice fields of Lembor sub-district and several other places, cassava or cassava was a staple food. Cassava is the main choice to meet daily food needs. During the famine in the late 1990s and into the 2000s, cassava was still the main food for most people in mountainous areas, especially those who did not have rice fields.

In the past, cassava grew abundantly and decorated many gardens and fields of the Manggarai people in the highlands. In fact, this plant is always present in every garden. Cassava is usually planted together with corn and several other types of horticulture. Cassava and corn were the main choices because both were the main foods for the Manggarai people at that time.

Corn is always planted first. If the corn has started to sprout, followed by planting sweet potatoes. This way of planting is quite unique. Mountain Manggarai people never plant just one type of plant in their gardens. Sweet potatoes are always planted together with corn and also several other types of short-term crops

Tete Kilu and the Dry Season

Tete kilu is prepared from sliced ​​cassava, then dried by drying it in the sun. After slicing, tete kilu is immediately dried in the ground without using a special container. Tete kilu is usually dried in the sun for around 4-5 days. This raw food is stored well as food in the dry season. When the cassava harvest time has arrived, the entire yard is filled with tete kilu which is dried in the sun and dried in the sun. Once dry, tete kilu will be stored properly in roto lancing (a large container made of woven bamboo) and stored in the lobo (attic). Apart from being stored as food during the dry season, tete kilu is also sold for certain purposes. Tete kilu is a preparation brought by Manggarai people to traditional markets. People from the mountains bring tete kilu to exchange for fish, salt or other foodstuffs. Traditional markets that still maintain this barter system are the Nangalili market in Lembor District and the Warloka market in Komodo District. Warloka Market to this day witnesses the most special encounter between people from the mountains and coastal people in the West Manggarai Regency area.

Based on the description of Muhamad Boeharto, a Labuan Bajo tourism activist who also comes from this city, traders from Nangaili (Lembor District), Mata Wae, and Golo Sengang (Sano Nggoang District) spend a day or two climbing and descending the mountain just to buy the necessary items at Warloka Market. They use buffalo as a means of transportation. At the Warloka market, they sell agricultural products, such as sweet potatoes, corn, vegetables, candlenuts, and other garden products.

In exchange, they will bring home fish, salt and other sea products. The encounter between mountain people and people from the island makes Warloka Market not only a place for transactions. This market is also a place for exchanging information, mixing cultures and mixing languages ​​between mountain people and people from the islands, the majority of whom are Bajo. This then gave birth to a generation rich in culture and language. It is not uncommon to find people in the coastal area of ​​Labuan Bajo who are fluent in Manggarai, Bima and Bajo.

Tete kilu as a food ingredient can be processed and served in various ways. This processing is very simple because it uses simple equipment. When the tete kilu is ready, all family members sit around the sapo (fire stove) and start eating together.

Several years ago, Manggarai people did not have a special place to eat. They usually eat food around the sapo or sit in a circle on pandan mats. Even when enjoying tete kilu, Manggarai people use sapo or lutur (living room) rides which have been laid out with mats. This eating habit is still practiced in the interior of Manggarai.

Tete Kilu and its Processed Products

Tete kilu can be processed into koil, sobol, mbolek, and rakap. 

First, the coil. The tete kilu that will be processed into coils is washed with water until clean, then put into an earthen lewing (earthen pot) and cooked with water in a fire oven. Processing tete kilu into coils is the most widely done because it doesn't take too long and doesn't require a lot of ingredients.

Second, friend. The process of making sobol is a little complicated because even though it uses simple tools and materials, the process requires patience and special skills. The dried kilu tete is ground until it is as fine as flour, then mixed with water. The mixture of water and flour is put into a gogong (bamboo container). Water is boiled in an earthen pot. Gogong containing sobol dough is placed on top of the lewing tana. The boiling water vapor in the ground lewing will enter the gogong which has been hollowed out until the sobol is cooked.

Third, relax. Mbolek is an alternative way of processing tete kilu flour dough that has been mixed with water. This method is relatively simple. The tete kilu flour dough is attached to a small stick of wood, then baked in hot coals. The habit of making mbolek is a distraction while waiting for the sobol to cook.

Fourth, recap. Rakap is almost the same as mbolek. The difference lies in the media used when roasting in hot coals. Mbolek uses small wood, while rakap uses ground lewing cover as a cooking medium. The tete kilu flour dough is placed on the lid of an earthen pot, then baked over hot coals. This processed tete kilu has always accompanied the journey of the Manggarai people from the past to the present.

Tete kilu has become a link between the garden and the house where Manggarai people cultivate and enjoy their natural products. They celebrate their hard work and handiwork in an area full of warmth and love.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

ODW Gua Batu Cermin

Situs Prasejarah Liang Verhoeven