Postingan

Menampilkan postingan dari Desember 4, 2022

Tete Kilu dan Kenangan yang Terlupakan

Tete Kilu dan Kenangan yang Terlupakan Mengingat tete kilu (gaplek) seperti mengingat serpihan masa lalu yang tercecer berantakan dan masa kecil yang dengan malu-malu dikenang. Ketika Indonesia diterpa badai krisis moneter yang menggemparkan, sejarah mencatat bahwa telah terjadi kelaparan berkepanjangan dan menyedihkan. Tak ada beras yang melimpah seperti saat ini. Makan nasi tiga kali sehari hanya berlaku bagi ata bora ‘orang kaya’. Pada situasi itulah tete kilu hadir bak pahlawan yang menyelamatkan. Tahun 90-an hingga 2.000-an barang kali merupakan akhir dari masa kejayaan tete kilu . Generasi yang lahir pada periode in bisa jadi merupakan generasi terakhir yang masih lahir dan dibesarkan dengan tete kilu . Saat ini, peran tete kilu telah digantikan oleh beras. Tete kilu hampir tak pernah lagi muncul dipermukaan. Jauh sebelum beras akrab di mulut dan diperut orang Manggarai serta hamparan sawah membentang sejauh mata memandang di area persawahan kecamatan Lembor dan beberapa...

Tradisi Tapa Kolo (Tradisi Bakar Nasi Bambu)

Tradisi Tapa Kolo Uma rana ‘kebun yang baru dibuka’ biasanya hanya ditanami tanaman jangka pendek, seperti tete ‘ubi’, latung ‘jagung’, woja / mawo ‘padi’, timung ‘mentimun’, dan ndesi ‘labu kuning’. Di antara tanaman ini, padi, jagung, dan ubi adalah tanaman utama yang selalu ada di setiap uma. Sekeng/cekeng (musim tanam) berkisar antara September hingga awal Oktober, bertepatan dengan hujan pertama setiap tahun. Hujan pertama setiap tahun adalah pertanda sekeng sudah dimulai. Sekeng adalah musim menanam dan waktu untuk bekerja. Orang beramai-ramai ke kebun untuk bekerja dan menggarap tanah. Pada masa ini, biasanya hari-hari mereka habiskan di kebun. Pada upacara pembukaan lahan baru, penanaman benih baru atau perayaan panen raya, orang Manggarai akan menikmati nasi kolo . Masakan dari dea laka 'beras merah' sebagai bahan utamanya. Beras yang digunakan merupakan beras pilihan dari padi ladang. Dahulu kala, beras merah hanya dihidangkan untuk menjamu tamu terhorma...

Ritus Pembagian Lingko

Gambar
  DARI UMA KE SAPO , DARI KEBUN KE PIRING MAKAN   Beo'n One Lingko'n Peang Menyebut lingko seperti memanggil kembali sebagian ingatan orang Manggarai tentang masa kecil yang telah lama dilupakan. Lingko mengantar ingatan yang samar-samar tentang orang- orang di kampung yang masih menjalin relasi akrab dan mesra dengan alam. Alam selalu menjadi sahabat yang bisa diajak bercengkerama setiap saat. Sebagai petani, orang Manggarai sangat dependensi pada alam. Sebab itu, adalah penting menjaga interaksi dengan alam, agar ia tetap harmonis dan terus menjadi sumber kehidupan. Alam dan kehidupan orang Manggarai adalah dua komponen yang tak bisa dilepaspisahkan satu dengan yang lainnya. Kedekatan relasi antara alam dengan nenek moyang adalah sesuatu yang tak terbantahkan. Ada banyak upacara dan ritus yang bisa menggambarkan relasi ini. Ada pula yang terejawantah dalam ungkapan puitis seperti beo'none lingko'n pe'ang yang bermakna antara kampung (ruang hidup) dan kebun r...