LEGENDA DANAU SANO NGGOANG
Danau Sano Nggoang
Danau
Sano Nggoang terletak di kampung Nunang,
desa Wae Sano, Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa
Tenggara Timur. Luas Danau Sano Nggoang kurang lebih 5.500 hektar. Kedalamannya
kurang lebih 600 m dengan ketinggian 750 m di atas permukaan laut.
Selain
keasrian dan kealamian, di sekitar Danau Sano Nggoang hidup pula sejumlah
habitat burung endemik Flore (gagak flores/Corvus florensis) dan burung
lain seperti itik gunung (Anas superciliosa), itik benjut (Anas
gibberifrons), tesia timor (Tesia everetti), kipasan flores, cekakak
tunggir-putih (Caridonax fulgidus).
Danau
Sano Nggoang juga merupakan salah satu danau vulkanik terbesar yang ada di
bagian timur Indonesia. Danau ini menjadi salah satu sumber air di kawasan
hutam Mbeliling Labuan Bajo. Jika ingin melihat langsung bentuk Danau Sano
Nggoang, bisa mendaki bukit yang ada di sekitar danau, yakni Puncak Golo DewaPuncak
Golo dewa sendiri adalah tempat terbaik untuk melihat pemandangan keseluruhan
Danau Sano Nggoang dari atas. Hutan lebat yang mengelilingi pinggir danau akan
menambah keindahan tersendiri terlebih jika kabut datang, pemandanganya akan
sangat lebih mengesankan.
Danau Sano Nggoang memiliki kadar belerang yang cukup tinggi. Bau belerang yang sangat menyengat. Selain menikmati keindahan danau juga mandi dan menimati kesegaran airnya. Biasanya para wisatawan yang datang ke sini untuk berburu sunrise atau sunsetnya. Sunrise maupun sunset yang ada di Danau Sano Nggoang sangat luar biasa indah dan mengagumkan. Dengan latar belakang ketenangan danau dan alam sekitar danau membuat kita akan sangat menikmati keheningan maupun kesunyian menjelang siang atau menjelang malam hari.
Menurut cerita, dahulu, sebagian besar batu di sekitar danau Sano Nggoang sering terlihat terang seperti api sedang menyala. Di antara bebatuan, ada satu batu yang sering terlihat terang atau menyala, persisnya berada di dekat kampung Nggoang (kampung lama) atau jaraknya kurang lebih 100 meter dari kampung Nggoang (kampung yang sekarang). Itulah sebabnya mereka namakan watu nggoang (batu menyala).
Legenda versi 1
Pada
zaman dahulu, di sebuah kampung, hiduplah dua orang nenek yang bernama, yaitu
Lemos dan Lamos. Lemos menderita penyakit kusta dan Lamos menderita buta dan
lumpu. Karena penyakit tersebut menular, maka pada suatu hari seluruh
masyarakat bermusyawarah untuk memindahkan kedua nenek tersebut. Hasil
musyawarah, beberapa warga diperintahkan untuk memindahkan kedua nenek tersebut
ke tempat yang jauh serta anjingnya. Seekor anjing hitam miliki kedua nenek
bernama Blawa. Pada pagi harinya ketika masyarakat membawa makanan kepada nenek
Lemos dan Lamos, ketika di jalan mereka mendengar kedua nenek tersebut saling
sahut-menyahut. Lamos meminta api kepada Lemos, karena dia lumpu. Tidak lama
kemudian, Lemos mengikat apinya di ekor si anjing. Tidak lama kemudian, ekor si
anjing terbakar hingga menjalar ke seluruh tubuhnya. Lalu keduanya tertawa.
Ketika keduanya sedang tertawa datanglah sang tuan tanah dan marah karena
perbuatan mereka. Lalu, tuan tanah bertanya kepada kedua nenek, apakah kalian
makan nasi bubur atau nasi kering? Keduanya menjawab nasi bubur. Kemudian tuan
tanah itu menancapkan tombaknya ke tanah. Pada saat dia mencabutnya, kemudian
keluarlah air dari dalam tanah. Air yang keluar itu kian membesar hingga
menghancurkan benda-benda di sekitarnya. Tiba-tiba datanglah dua makhluk
penjaga gunung, bernama Lereng dan Poco Tila. Penjaga gunung bernama Lereng
meminta air, namun tidak diberikan karena gunungnya berbentuk cadas. Lalu
penjaga gunung Poco Tila juga meminta air, tidak lama kemudian keluarlah air
dari tanah sebab tanahnya tidak berbentuk cadas. Lalu, keluarlah air itu dan
air yang keluar itu diberi nama kali Mbua. Kemudian, air yang berasal dari
tancapan tombak dari tuan tanah tersebut berubah menjadi air panas hingga
menyemburkan uap dan membentuk danau. Kemudian, air itu diberi nama Danau Sano
Nggoang.
Legenda Versi 2
Asal-usul Danau Sano Nggoang
Pada
zamn dahulu, sebelum menjadi Danau Sano Nggoang tempat ini hamparan yang sangat
luas. Di hamparan ini, tempat pusat berkebunnya warga masrakat Nunang. Lokong,
Nggoang, Lempe, Kandang, agu Wewa.
Tempat
berkebunnya warga Nunang, Mberai, dan Wakar.
Tempat
berkebunnya warga Lempe, Kandang, Sambi, dan Wae Mese
Tempat
berkebun bagi warga Lokong, Angkor, dan tanah Rampas,
Tempat
berkebun bagi warga Nggoang, Kaca, Wae Wesang, dan Bokak Rangga
Tempat
berkebun bagi warga Wewa dan Ta’al
Pada
saatnya menanam padi ladang, semua warga Kampung Nunang, Lempe, Kandang,
Lokong, Nggoang, dan Wewa berangkat ke kebun karena musim tanam padi ladang.
Di
hamparan tempat kampung enam berkebun, yang ada di situ hanya Si Bukuk dan Si
Buta dan anjing kesayangan mereka, yaitu Solek. Ajing ini sebagai perantara
mereka manakala mereka membutuhkan sesuatu di antara mereka. Biasanya mereka
ikat di ekor anjing manakala mereka mengirimkan sesuatu di antara mereka.
Pada
suatu hari, mereka menyalakan api menggunakan kayu bakar. Karena sudah lama,
apinya Si Buta padam. Si Buta ingin menyalakan api lagi, Si Buta tanya Si
Bukuk, Si Bukuk apa ada api? Karena api saya padam. Jawab Si Bukuk, ada, tetapi
bagaimana caranya, saya kan tidak bisa jalan. Si Buta minta apinya diikat di
ekor anjing (Solek). Setelah diikat, anjingnya dipanggil.
Si
Bukuk tanpa pikir panjang, dia mengikat api itu di ekor anjing. Setelah diikat
oleh Si Bukuk, Si Buta minta Si Bukuk memanggil anjing dengan sebutan Solek secara
berulang-ulang. Si Bukuk mengikuti arahan si Si Buta. Tidak lama kemudian
anjing tersebut berlari cepat menuju Si Buta.
Si
Buta tidak mengetahui seperti apa anjing tersebut dalam perjalanan, tidak
dibayangkan sama sekali, apa yang terjadi pada anjing. Dalam perjalanan anjing
ini terbakar buluhnya mulai dari ekor hingga seluruh badannya, sambil berteriak
dalam Bahasa lokalnya kangak. Si Bukuk ingin memadamkan apinya
sayangnya dia tidak bisa berjalan. Si Bukuk tertawa karena dianggap lucu dan Si
Buta juga ikutan tertawa meskipun tidak melihatnya apa yang terjadi pada
anjing. Tidak lama kemudian anjing kesayangan mereka terbakar dan diakhiri
kematian. Akhirnya apinya tidak kesampaian.
Pada
saat anjing mati, mereka berdua merasa kehilangan anjing kesayangannya.
Kematian anjing itu membuat mereka kesulitan dalam berkomunikasi.
Pada
saat mereka tangisi anjing kesayangan, data seorang bapak tua, berkumis,
berdagu panjang sambil memeggang tombak. Bapak Tua mempertanyakan dan mengecam
perbuatan mereka terhadap anjing tersebut. Sampai sekarang aroma anjing bakar
masih terasa di lokasi itu.
Selanjutnya,
Bapak Tua tanya kepada Si Bukuk dan Si Buta, apakah kamu lapar? Mereka
menjawab, ya kami lapar. Mana yang kamu suka, makan nasi kering atau nasi
bubur? Mereka menjawan, kami suka nasi bubur. Lalu diberikan nasi bubur sambil
dia menikam atau menancap ke tanah kris oleh Bapak Tua. Ketika dia mencabutnya,
tiba-tiba atau tidak disangka tumpah ruahlah air dari dalam tanah tiada henti
memenuhi hamparan luas tersebut.
Warga
kampung setelah pulang berkebun mereka kaget karena kampung mereka ditutupi
genangan air. Di sekitar tempat itu, ada batu, kalau pada malam hari batu itu
bercahaya. Mereka menamakan tempat itu Danau Sano Nggoang.
Cerita Legenda Versi 3
Legenda Danau Sano Nggoang oleh Bernadus Barat Daya (Penulis, adalah Penyair dan pegiat kebudayaan)
Pada suatu zaman, hiduplah serumpun manusia prasejarah di lereng gunung Lua (Golo Lua). Gunung Lua merupakan gunung tertinggi yang ada di sekitar wilayah itu. Tingginya hampir sama seperti tinggi gunung Mbeliling yang terletak arah utara dari kawasan gunung Lua. Bahkan lingkar luar kawasan gunung Lua, jauh lebih besar daripada lingkar luar gunung Mbeliling. Gunung Lua, cukup tinggi dan lancip menjulang langit. Menurut penuturan (mitos) dari nenek moyang zaman dulu, Golo Lua mempunyai hubungan ‘kerabat alam’ dengan Golo Mbeliling. Hubungan mereka, sering disebut ‘adik-kakak’. Golo Lua sebagai ‘adik’ dan Golo Mbeliling sebagai ‘kakak’.
Di kawasan lereng gunung Lua, hanya dihuni oleh satu komunitas manusia atau rumpun keluarga yang juga masih bersaudara (adik-kakak). Sang adik bernama Mpu Rua, dan sang kakak bernama Mpu Mberong. Anggota dari rumpun keluarga ini berjumlah 9 orang. Dari ke 9 orang itu, terdapat 2 orang di antaranya menderita cacat. Seorang menderita buta atau tidak bisa melihat (ata buta mata/toé ita ata), dan seorang lagi menderita lumpuh atau tidak bisa berjalan normal (ata bukuk/ata péko). Keduanya disapa ata buta dan ata bukuk (si buta dan si bukuk).
Mpu Rua dan Mpu Mberong tinggal terpisah di dua tempat berbeda, tetapi masih dalam jarak tak terlalu jauh. Mpu Rua bertindak sebagai pemimpin untuk 4 warganya. Sedangkan Mpu Mberong bertindak sebagai pemimpin untuk 3 warganya. Mereka sama-sama menjadi pemimpin pada masing-masing komunitas tempat tinggalnya. Mereka hidup dengan rukun dan saling tolong-menolong. Mpu Mberong tinggal di dekat sebuah sumber mata air di bagian utara, yang dahulu disebut Waé Muri Mberong. Sedangkan Mpu Rua tinggal di dekat sumber mata air di bagian selatan arah timur. Namun jarak tempat tinggal dari kedua Mpu tersebut tidak terlalu jauh atau hanya terpaut sekira 3 km.
Suatu ketika, Mpu Rua dan 2 orang warganya pergi membantu pekerjaan di tempat tinggal sang kakak, Mpu Mberong, kecuali si buta dan si bukuk. Karena si buta dan si bukuk menderita cacat fisik, maka keduanya tidak ikut pergi membantu pekerjaan Mpu Mberong. Praktis, hari itu tertinggal hanya si buta dan si bukuk yang tetap berada di tempat, serta ditemani oleh seekor anjing piaraan.
Jatah makanan untuk 3 hari, yang sebelumnya disiapkan oleh Mpu Rua bagi si buta dan si bukuk itu, telah habis dilahap dalam sehari saja oleh keduanya. Sehingga pada hari berikutnya, mereka pun kehabisan jatah makanan. Pada saat mereka lapar, keduanya pun mulai mencari jalan; bagaimana cara mengatasinya. Mereka tahu bahwa masih ada sisa jagung tumbuk (cuca latung) dan sedikit sisa beras (déa). Tetapi persoalannya adalah bagaimana memasak kedua jenis makanan tersebut agar dapat dimakan? Tentu saja, cuca latung dan déa itu harus dimasak atau ditanak, dan tentu saja proses tanaknya membutuhkan api.
Pondok tempat tinggal si buta berjarak lima wasé kaba (sekira 50 meter) dari pondok tempat tinggal si bukuk. Api yang ada di pondok si buta telah padam. Sedangkan api yang ada di pondok si bukuk masih menyala di tungku perapian. Si buta pun bertanya dengan suara agak melengking (kepok/cu’ur) kepada si bukuk. “Hei adik,… apakah di tungkumu itu masih ada api?” (Oé asé…, asa gé sili sapo gau tu da, nenti én api hitu?). Si bukukpun menjawab: “Ya…, di tungku saya ini masih ada apinya. Tetapi bagaimana mungkin api ini bisa dibawa ke tempatmu. Saya tak mungkin bisa berjalan.” (Éng da,… nenti én mek api cé’é sapo gaku ho’o. Laning coé tau waéta ité’n api ho’o ga. Ai bom ngancé tau lako aku”)
Si buta dan si bukuk pun “putar otak.” Semua sudah pada pergi. Yang tertinggal hanya mereka berdua dan ditemani oleh seekor anjing kesayangan milik Mpu Rua. Saat dalam perasaan galau bercampur lapar, di benak keduanya tiba-tiba muncul gagasan ‘kreatif’ yaitu, memanfaatkan anjing piaraan sebagai ‘pengantar puntung api’ (ata wa cupu api).
Si bukuk, lalu mengikatkan sebatang puntung api yang masih menyala itu pada ekor anjing. Lalu anjing itu diusir (conda). Pada saat yang sama, si buta dari seberangnya memanggil-manggil anjing itu (kuing acu) agar anjing tersebut segera berlari menuju pondoknya. Anjing pun berlari-lari, dengan api yang masih bernyala-nyala pada ekornya.
Namun saat anjing itu berlari menuju tempat si buta, puntung api itu membakar seluruh bulu di sekujur tubuhnya. Na’as bagi anjing, tubuhnya merasa kepanasan karena bulu-bulu di tubuhnya terbakar api. Anjing itu pun bergeliat kepanasan. Melihat anjing bergelit sambil mengerang kesakitan, si bukuk tertawa terbahak-bahak (tawa dalér). Ia merasa lucu saat melihat anjing tersebut bergeliat dan mengerang kesakitan. Mendengar si bukukterus mentertawai anjing yang kesakitan itu, si buta pun ikut tertawa ngakak. Keduanya lalu tertawa untuk waktu yang cukup lama. Meski anjing itu berhasil tiba di pondok si buta, namun ia nyawanya keburu habis. Ia benar-benar mati terkapar di hadapan si buta karena tubuhnya telah terbakar api.
Anjing yang telah mati terbakar itu dibiarkan begitu saja oleh si buta. Ia hanya mengambil api yang dibawa oleh anjing itu. Puntung api, segera diambilnya dan langsung digunakannya untuk menanak nasi pada periuk tanah (lewing tana) yang telah disiapkan.
Rupanya, tindakan tak terpuji dan tak patut, yang dilakukan si buta dan si bukuk itu, mendatangkan murka alam. ‘Sang Penguasa alam’ (Empo Mésé) pun datang dalam rupa seorang Kakek tua berjenggot panjang dan telah memutih (empo janggok bakok). Kakek tua itu, belum pernah mereka kenal. Sang Kakek mendekati si buta yang sedang menanak. Karena si buta sedang menanak nasi, maka Kakek itu pun melontarkan beberapa pertanyaan yang juga berkaitan langsung dengan hal-ihwal nasi dan hasil tanakan yang diinginkan. Selain itu, ia juga mempertanyakan tentang sikap tak patut yang dlakukan si buta dan si bukuk terhadap anjing.
Sang Kakek, lalu bertanya: “Mengapa kalian berdua mentertawakan anjing yang sedang dalam keadaan tersiksa dan akhirnya mati karena ulah kalian? Tidakkah kamu merasa iba terhadap anjing itu? Bukankah kalian mestinya harus tetap berusaha untuk menolong anjing itu agar ia selamat dari kematiannya?
Namun keduanya justru bertanya balik pada Sang Kakek. “Hei, kakek tua,…mengapa engkau peduli pada anjing sialan itu? Anjing itu milik kami dan bukan milikmu. Lekaslah pulang ke tempat asalmu dan jangan pernah kembali untuk mengurus kami lagi.”
Mendengar jawaban kasar dari si buta dan si bukuk itu, Sang Kakek menggeleng-gelengkan kepalanya sebagai pratanda bahwa ia sangat kecewa atas tingkah laku dan tutur kata dari si buta dan si bukuk. Sang Kakek lalu berujar; “baiklah…saya akan pulang, tetapi pada malam ini juga, saya akan datang kembali menjumpai kalian.” Setelah menyampaikan pesan demikian, Sang Kakek pun menghilang.
Malam makin larut. Baik si buta maupun si bukuk telah tertidur lelap. Di malam itu, keduanya sama-sama bermimpi. Sang Kakek berjenggot putih yang pada siang hari tadi mereka jumpai, tiba-tiba datang menemui mereka lagi. Kepada keduanya, Sang Kakek itu pun seolah mengulangi pertayaan yang pernah ia lontarkan kepada si buta dan si bukuk pada siang hari tadi.
Sang Kakek bertanya: “Wahai si bukuk dan si buta, kalian berdua telah melakukan perbuatan jahat pada seekor anjing di siang hari tadi. Anjing itu adalah kepunyaan saya. Kamu hanyalah manusia yang saya percayakan untuk memeliharanya. Kamu sama sekali tak berhak untuk mencabut nyawa dari semua jenis mahkluk apa pun yang hidup di bumi ini, termasuk nyawa anjing itu. Terhadap perbuatan kalian, saya akan memberi hukuman keras. Sekarang, saya bertanya kepada kalian berdua, hukuman apa yang kamu mau?”
Pertanyaan Sang Kakek, tidak langsung dijawab oleh si buta dan si bukuk, karena tidak mengerti apa maksud pertanyaan Sang Kakek. Sang Kakek pun memperjelas pertanyaannya: “Wahai si buta dan si bukuk, jenis hukuman mana yang kalian mau saya berikan. Apakah kalian mau makan nasi “kering/garing” atau makan nasi “bubur/berair”? (niak hang kar/torak ko hang lébo waé?)
Atas pertanyaan itu, keduanya menjawab serentak: “kami mau makan semuanya. Makan dulu nasi kering, setelah itu makan lagi nasi bubur.” (hang taung kaut’s lehami. Olo ming hang masa/torak, puli hitu ga hang kolé lébo waé).
Mendengar jawaban seperti itu, Sang Kakek bertanya lagi kepada keduanya: “Apakah tidak lebih baik jika kalian hanya memilih satu dari dua pilihan itu”? Si buta dan si bukuk menjawab: “Tidak, kami mau makan semuanya. Makan nasi kering dan makan nasi bubur sekaligus.” (Toé da, niak tau hang taung’s lehami. Hang masa/kaar agu hang lébo waé lako neki cengkali).
Setelah si buta da si bukuk menjawab denga jelas atas pertanyaan Sang Kakek, maka berkatalah Sang Kakek: “Baiklah, jika memang itu yang kalian kehendaki, maka saya akan berikan sesuai keinginan kalian sendiri. Nasi kering dan bubur berair. Kering dan basah. Api dan air!” (Omé nggitu é niak gemi du ga, kong tau aku taing cama nu niak deru gemi. Hang kar agu lébo waé. Masa agu baca. Api agu waé!).
Kepada si buta dan si bukuk, Sang Kakek juga menyampaikan bahwa pada malam itu, ia juga harus bertemu dengan Mpu Rua dan Mpu Mberong yang saat itu memang sedang berkumpul di tempat Mpu Mberong. Maksudnya agar mereka juga mengetahui perihal jenis hukuman yang akan diberikan kepada bangsa manusia, serta hal apa yang akan terjadi pada malam keesokannya.
Dan benar saja. Pada malam yang sama, Mpu Rua pun bermimpi. Dalam mimpinya, ia didatangi oleh Sang Kakek dan memberitahukan tentang prilaku dan tutur kata si buta dan si bukuk, baik terhadap anjing maupun terhadap Sang Kakek sendiri. Dalam mimpi itu, Sang Kakek berkata kepada Mpu Rua. “Ketahuilah, bahwa besok malam (diang wié), saya akan memberikan hukuman kepada bangsa manusia serakah pada alam ini. Tetapi karena kalian orang baik, maka hukuman ini dapat kamu hindari dengan mengungsi ke tempat yang agak jauh dari gunung ini. Besok pagi, segera keluar dari sini. Bawalah anggota keluargamu yang lain, kecuali si buta dan si bukuk. Dan agar engkau tahu apa yang akan saya lakukan besok malam, maka sekarang pun, saya ingin memperlihatkan kepadamu apa yang akan terjadi besok malam.
Sano Nggoang
Setelah Sang Kakek mengatakan demikian, ia pun langsung mencabut keris dari pinggangnya. Keris itu lalu ia tunjukkan (toso) ke arah atas atau ke puncak gunung Lua sambil berkata: “Gunung Lua, dengarkan saya; mulai besok malam, muntahkanlah isi perutmu berupa api yang menyala-nyala ke atas muka bumi. Keluarkanlah lahar panas dan debu beracun dari perutmu itu. Biarlah segenap manusia serakah yang ada di sekitar ini, akan binasa. Setelah itu, muntahkan pula air beracun yang ada dalam perutmu itu. Biarlah air beracun itu akan selalu menggenangi wilayah sekitar sini untuk selamanya. Ini adalah hukuman bagi makhluk manusia yang telah bersikap serakah atas sesama makhluk ciptaanku di bumi. Biarlah bangsa manusia serakah akan bertobat, dan setelah ini mereka dapat memulai hidup baru dengan lebih baik sesuai kehendakku. Tetapi bagi bangsa manusia yang taat pada alam dan patuh pada kehendakku, akan tetap hidup di setiap zaman.”
Seusai berkata demikian, Sang Kakek pun menghilang. Dan tersadarlah pula Mpu Rua dari mimpinya. Setelah tersadar dari mimpi, Mpu Rua langsung menceritakannya kepada Mpu Mberong dan semua anggota keluaraga yang berkumpul malam itu. Mpu Rua lalu meminta kakanya, Mpu Mberong untuk mengartikan mimpinya itu. Maklum bahwa Mpu Mberong memang dikenal sebagai orang yang mempunyai kesaktian khusus.
Atas permintaan itu, Mpu Mberong pun berkata: “Besok malam akan terjadi suatu bencana besar dan dasyat yang melanda wilayah kita. Bersiap-siaplah dari sekarang untuk mencari tempat perlindungan yang aman. Gunung tempat kita tinggal ini, akan luluh lantak oleh api dari dalam perut bumi. Setelah api mereda nanti, muncul pula air beracun yang akan menggenangi sebagian dari gunung yang tersisa ini. Ini adalah kutukan langsung dariEmpo Mésé, Sang Maha Pencipta alam jagat raya ini.”
Mpu Rua bertanya kepada Mpu Mberong: Jika kita harus mengungsi besok, ke mana kita harus pergi? Mereka terdiam sejenak sambil berpikir. Lalu Mpu Mberong berkata lagi: “ada ‘kakak’ saya yang tinggal di salah satu gua batu (liang) yang ada di lereng gunung Mbeliling. Besok kita harus pergi mengunsi ke tempat mereka. Yakinlah bahwa mereka pasti menerima kehadiran kita.”
Keesokan paginya, ke-7 orang itu pun langsung pergi ke liang di gunung Mbeliling. Mpu Mberong bertindak sebagai penunjuk jalan. Mereka pun tiba di sana. Para penghuni liang tersebut, menerima kehadiran mereka dengan baik. Mpu Mberong dan Mpu Rua, juga menceritakan semua mimpi yang menjadi alasan mengapa mereka harus mengungsi sementara di liang itu.
Saat malam tiba atau bertepatan dengan waktu seperti yang telah dijanjikan oleh Sang Kakek pada malam sebelumnya, gempa dasyat datang berkali-kali mengguncang bumi. Saat bersamaan, dilihatlah oleh mereka dari kejauhan, betapa gunung Lua itu terus-menerus mengeluarkan api besar di atas puncaknya. Asap tebal membubung tinggi ke langit. Batu-batu dan pasir panas terus saja dimuntahkan dari gunung Lua itu. Segala makhluk hidup yang ada di sekitarnya menjadi binasa seketika. Langit gelap, dipenuhi awan panas. Suara dentuman keras dari puncak gunung Lua tak henti-hentinya bergemuruh.
Selama 2 hari berturut-turut, puncak gunung Lua terus saja memuntahkan lumpur panas dan bebatuan yang menyala-nyala. Akibatnya, separuh gunung Lua itu hilang dan menjadi serpihan tanah dan bebatuan yang disemburkan ke semua arah. Hampir segala makhluk, baik tumbuhan maupun binatang yang ada di sekitar pengunungan Lua menjadi binasa seketika.
Mpu Rua dan Mpu Mberong serta 5 saudaranya yang lain, selamat dari dasyatnya kutukan bencana itu. Mereka merasa sungguh beruntung, ketika dapat berlindung di liang yang aman itu. Setelah berselang kira-kira satu bulan kemudian, dimana kondisinya telah berangsur membaik, barulah mereka meminta izin untuk melihat dari dekat apa yang telah terajadi di gunung bekas tempat tinggal mereka. Tak ketinggalan, 2 orang penghuni liang di Mbeliling itu, ikut serta rombongan Mpu Mberong dan Mpu Rua menuju gunung Lua agar dapat pula menyaksikan apa yang telah terjadi.
Setibanya mereka di sana, dilihatlah oleh mereka bahwa sebagian besar dari kawasan gunung Lua telah tiada. Puncak gunung yang tinggi itu telah hilang sebagian besarnya, hingga mencapai lereng bagian bawahnya. Puncak gunung itu telah berubah menjadi kawah yang dalam. Dari dalam kawah yang menganga itu, terlihat genangan air panas yang terus mendidih dan mengeluarkan asap beracun. Semburan air panas yang mendidih dari dasar kawah itu cukup tinggi. Bebatuannya gosong dan mengeluarkan asap. Bahkan ada sebagian dari batu-batu itu yang masih terlihat menyala (watu nggoang). Mereka tak berani mendekat ke kawah, karena selain takut pada air yang masih mendidih itu, juga karena dari dalam air kawah itu tersembur asap putih nan panas serta tercium bau menyengat yang mematikan.
Tempat tinggal Mpu Rua di lereng itu, tidak terlihat lagi di posisi semula, karena posisinya justru telah berada di areal kawah, persis di tepi air yang masih mendidih itu. Berbeda dengan tempat tinggal Mpu Mberong yang posisinya masih dapat ditemukan karena berada di bagian atas dari tepi kawah. Meskipun pondoknya serta semua pohon-pohon yang ada di sekitar tempat tinggal Mpu Mberong itu telah hancur dan musnah. Satu-satunya yang tersisa di sekitar situ adalah sumber mata air (waé dé muri Mberon) yang posisinya berdekatan dengan bekas tempat tinggal Mpu Mberong. Sebagian besar dari lokasi mata air itu memang telah tertimbun banyak tanah dan bebatuan, tetapi airnya tetap bisa keluar ke atas permukaan tanah.
Dalam kurun waktu yang agak lama setelah itu, takkala keadaan mulai berubah. Tingginya semburan air mendidih yang ada di kawah mulai berangsur turun dan mereda. Airnya mulai berangsur tenang dan tidak lagi mendidih seperti saat awal terjadinya bencana. Uap panas dari dasar kawah, juga pelan-pelan mendingin. Bau menyengat yang berasal dari dasar kawah, juga sedikit lebih baik dari sebelumnya. Demikian pula, sejumlah batu-batu hasil muntahan dari dalam perut gunung yang tercecer di sepanjang pinggiran tebing atas dari kawah, yang sebelumnya masih terlihat menyala dan berasap, juga telah mendinging. Pada tanah daratan yang tersisa sepanjang lingkaran bekas gunung Lua pun, mulai ditumbuhi pohon-pohon kecil lagi.
Singkatnya, kehidupan alam di sekitar kawasan bekas gunung Lua, secara berangsur-angsur pulih kembali. Saat itu, barulah Mpu Mberong dan Mpu Rua, serta ke-5 orang saudaranya mulai menjalani kehidupan barunya. Mpu Mberong memilih untuk tetap tinggal di sekitar bekas tempat tinggalnya yang lama. Karena di situ, masih ada sumber mata air yang bersih (tidak tercemar) dan dapat pula diminum. Sedangkan Mpu Rua, mencari lokasi baru yang dianggap cocok untuk ditempati. Ia tetap mencari tempat tinggal yang masih terbilang dekat dengan bekas tempat tinggalnya sebelum bencana, terutama tempat yang mempunyai sumber mata air. Dan ia pun menemukannya.
Air yang tergenang di kawah bekas gunung Lua itu, kemudian mereka menamakannya sebagai Sano (air). Karena air itu sewaktu-waktu kerap memunculkan lidah api yang berasal dari dasar kawah, maka Mpu Rua dan Mpu Mberong menamakan air di kawah itu sebagai Sano Nggoang (air yang menyala). Sano dalam arti harfiah seturut dialek setempat lebih mengarah pada pengertian ‘air genangan dalam telaga yang besar serta mengandung racun’ (tiwu sano). Bukan air (waé) dalam arti air biasa yang lebih kecil dan dapat diminum oleh manusia).
Warga lokal yang berdomisili di sekitar kawasan tiwu sano itu, menyebutnya tiwu sano nggoang dan dalam perkembangan selajutnya disebut sebagai Danau Sano Nggoang. Bahkan di kemudian hari, nama Sano Nggoang itu diabadikan juga ke dalam nama desa (Desa Waé Sano), dan nama kecamatan (Kecamatan Sano Nggoang).
Komentar
Posting Komentar