Situs Cagar Budaya Lingko Waemata Tado

 Lingko Lodok Waemata Tado





Lingko Lodok Waemata Warisan Budaya Agraris Masyarakat Tado

Lodok merupakan sistem pembangian dan pengolahan lahan komunal (lingko) berbentuk sarang laba-laba untuk usaha pertanian pada masyarakat Manggarai. Sistem pembagian lodok sangat unik, hanya dapat dijumpai di Manggarai. Pengelolaan lahan pertanian secara komunal telah berlangsung selama berabad-abad. Pembagian ini dilakukan untuk menjamin hak dasar semua warga di wilayah setempat untuk mendapatkan lahan pertanian. Pembagian lahan dilakukan oleh Tu’a Teno (Ketua Adat bagian lahan pertanian) bekerja sama dengan Tu’a Panga (yang mengepalai beberapa kumpulan keluarga) dan Tu’a Golo (kepala kampung).

Bentuk Lodok

Yang unik dari lahan pertanian dengan sistem lodok ini adalah bentuknya yang menyerupai sarang laba-laba, seperti yang tampak pada sawah lingko di kampung Tado. Bagian tengah menjadi titik nol dari tanah ulayat yang dibagi-bagi. Polanya dengan menarik tali panjang dari titik tengah (lodok) hingga ke bagian terluar (cicing) sehingga membentuk sarang laba-laba. Dengan demikian, bagian yang kecil berada di bagian dalam (tengah) dan keluarnya makin lama semakin berbentuk lebar.

Pengelolaan tanah milik bersama

Lingko merupakan lahan komunal yang dimiliki bersama oleh beberapa klan (wa’u) pada satu golo. Istilah golo yang secara harafiah berarti bukit, merujuk pada sebuah permukiman tradisional. Meskipun demikian, golo sebagai pemukiman tidak harus di puncak bukit, bisa juga di kaki bukit, tergantung jauh-dekatnya mata air. Dari atas puncak bukit, orang akan melihat garis jari-jari yang membentang sampai ke kaki bukit yang tampak membundar. Dari sinilah muncul istilah langang (garis jari-jari/batas antara kebun), cicing (kaki bukit/batas luar kebun) dan lodok (pusat lingkaran/pusat kebun).

Proses pembagian lingko

Dalam pelaksanaannya, Tu’a Teno akan mengadakan rapat awal (reke lodok) untuk mengagendakan waktu pembagian lingko. Rentang hari dari reke dengan hari-H pembagian lingko biasanya disebut lu’ang atau sepuluh hari. Ca lu’ang berarti sepuluh hari lagi. Setelah itu diadakan rapat menentukan rembo yang akan ikut dalam pembagian lingko (lodok lingko). Rembo adalah hak setiap panga untuk mengambil bagian dalam lodok lingko. Kalau lingko-nya luas maka semua panga bisa mendapat bagian. Sebaliknya, jika lingko-nya kecil, maka mereka yang tidak mendapat bagian akan diberikan kesempatan pada lodok lingko bon, yaitu lingko yang tidak mempunyai hubungan esensial dengan golo. Pada rapat yang sama, disepakati siapa yang akan mengambil bagian dalam sor moso atau acara pembagian lingko. Setiap panga biasanya sudah mengetahui anggota keluarganya yang membutuhkan lahan. Seandainya ada orang lain di luar wa’u atau yang disebut ata long tapi tinggal di golo dan ingin mengambil bagian dalam sor moso, maka dia akan mendekati Tu’a Teno dengan membawa ayam dan tuak. Prosesi pembagian lingko akan dimulai dengan acara tente teno, yaitu menancapkan kayu yang bernama haju teno ke lubang yang dibuat persis di pusat lingko. Dari kayu teno itulah nanti akan ditarik garis jari-jari lingkaran yang kemudian menjadi batas antarkebun (langang). Sebelum kayu teno ditancapkan, Tua Teno akan memegang sebutir telur ayam mentah dan mengucapkan sebuah doa harapan kepada Tuhan dan nenek moyang agar memberikan berkah rezeki. Telur ayam ini akan ditaruh di dalam lubang dimana kayu teno ditancapkan. Sesudah lubang ditutup dengan tanah, di sekeliling teno akan ditancapkan kayu-kayu kecil yang disebut lance koe. Pada lance inilah akan diikat tali (wase). Banyaknya tali tergantung jumlah panga dalam satu golo. Di luar lance itu akan dibuat langang.

Masih bertahan hingga sekarang

Sampai saat ini kearifan lokal masyarakat Manggarai dalam pengelolaan sumber daya pertanian ini masih terus dipertahankan di beberapa wilayah di Kabupaten Manggarai Barat. Selain untuk menjamin kebutuhan pangan masyarakat setempat, sistem ini juga berperan dalam menjaga kelestarian sumber daya alam. Penggunaan Lodok paling tampak pada lahan sawah, tetapi sesungguhnya semua lahan pertanian di Manggarai dibagi menurut sistem ini. Sistem Lodok sudah ada sebelum abad 16, namun di Tado, Desa Nampar Macing baru ada pada tahun 1955. Pemilik Lingko lodok Wae Mata Tado berjumlah 21 orang. Masing-masing pemiliknya menggarap lahan sawah secara bersamaan. Sama-sama menanam, sama-sama juga memanen. Cara menggarapnya sangat unik, yaitu digarap mulai dari cicing (dari pinggir sawah) menuju ke lodok (titik pusat sawah). 

Di wilayah tersebut, banyak ditemukan lingko lodok pada lahan kering. Meski tidak tercatat, masih terlihat bentuk Lodok di lahan kering. Tiap-tiap lingko, baik lahan sawah maupun lahan kering, masih di bawah pengelolaan oleh tu’a Teno yang berkoordinasi dengan Tu’a Golo dan Tu’a Panga. 

Lingko Lodok Waemata Agrarian Cultural Heritage of the Tado Community

Lodok is a system of cultivating and cultivating communal land (lingko) in the form of spider webs for agricultural businesses in the Manggarai community. The lodok distribution system is very unique, it can only be found in Manggarai. Communal management of agricultural land has been going on for centuries. This distribution is carried out to guarantee the basic rights of all residents in the local area to obtain agricultural land. The distribution of land is carried out by Tu'a Teno (Traditional Head of the agricultural land division) in collaboration with Tu'a Panga (who heads several family groups) and Tu'a Golo (village head).

Lodok shape

What is unique about agricultural land using the lodok system is that its shape resembles a spider's web, as seen in the Lingko rice fields in Tado village. The middle part is the zero point of the communal land that is divided. The pattern involves pulling a long rope from the center point (lodok) to the outermost part (cicing) to form a spider's web. Thus, the small part is on the inside (middle) and the exit becomes wider and wider over time.

Management of jointly owned land

Lingko is communal land owned jointly by several clans (wa'u) on one golo. The term golo, which literally means hill, refers to a traditional settlement. However, golo as a settlement does not have to be at the top of a hill, it can also be at the foot of a hill, depending on how close the spring is. From the top of the hill, people will see a line of fingers that stretches to the foot of the hill which appears rounded. This is where the terms langang (radius line/border between gardens), cicing (foothill/outer boundary of the garden) and lodok (center of the circle/center of the garden) emerged.

Lingko distribution process

In its implementation, Tu'a Teno will hold an initial meeting (reke lodok) to schedule the time for distributing the lingko. The span of days from reke to the D-day of lingko distribution is usually called lu'ang or ten days. Ca lu'ang means ten more days. After that, a meeting was held to determine the rembo who would participate in the distribution of the lingko (lodok lingko). Rembo is the right of every panga to take part in lodok lingko. If the lingko is large then all pangas can get a share. On the other hand, if the lingko is small, then those who do not get a share will be given the opportunity to lodok lingko bon, namely lingko that does not have an essential relationship with the golo. At the same meeting, it was agreed who would take part in the sor moso or lingko distribution event. Each panga usually knows which family members need land. If there is another person outside the wa'u or what is called ata long but lives in golo and wants to take part in sor moso, then he will approach Tu'a Teno with chicken and palm wine. The lingko distribution procession will begin with the tente teno event, namely sticking wood called haju teno into a hole made right in the center of the lingko. From the teno wood, the radius of the circle will be drawn which will then become the boundary between the gardens (langang). Before the teno wood is inserted, Tua Teno will hold a raw chicken egg and say a prayer of hope to God and the ancestors to give blessings of good fortune. This chicken egg will be placed in the hole where the teno wood is inserted. After the hole is covered with soil, small pieces of wood called lance koe will be planted around the teno. A rope (wase) will be tied to this lance. The number of ropes depends on the number of pangas in one golo. Outside the lance it will be made langang.

Still survives to this day

Until now, the local wisdom of the Manggarai people in managing agricultural resources is still maintained in several areas in West Manggarai Regency. Apart from ensuring the food needs of local communities, this system also plays a role in preserving natural resources. The use of Lodok is most visible in rice fields, but in fact all agricultural land in Manggarai is divided according to this system. The Lodok system existed before the 16th century, but in Tado, Nampar Macing Village, it only existed in 1955. There are 21 owners of Lingko lodok Wae Mata Tado. Each owner works on the rice fields simultaneously. Together you plant, you both harvest. The way to work on it is very unique, namely that it is worked from the cicing (from the edge of the rice field) to the lodok (the center point of the rice field).

In this area, many lingko lodok are found on dry land. Even though it is not recorded, the shape of Lodok can still be seen on dry land. Each lingko, both rice fields and dry land, is still under management by Tu'a Teno in coordination with Tu'a Golo and Tu'a Panga.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

ODW Gua Batu Cermin

Situs Prasejarah Liang Verhoeven

Tete Kilu dan Kenangan yang Terlupakan