Situs Cagar Budaya Lodok Poco Rutang

 Lingko Lodok Poco Rutang





Lingko Lodok Poco Rutang merupakan Warisan Budaya Agraris 
Masyarakat Kampung Wae Nakeng

Lodok merupakan sistem pengelolaan dan pembangian lahan komunal (lingko) berbentuk sarang laba-laba untuk usaha pertanian pada masyarakat Manggarai. Sistem pembagian lodok sangat unik, hanya dapat dijumpai di Manggarai. Pengelolaan lahan pertanian secara komunal telah berlangsung selama berabad-abad. Pembagian ini dilakukan untuk menjamin hak dasar semua warga di wilayah setempat untuk mendapatkan lahan pertanian. Pembagian lahan dilakukan oleh Tu’a Teno (Ketua Adat bagian lahan pertanian) bekerja sama dengan Tu’a Panga (yang mengepalai beberapa kumpulan keluarga) dan Tu’a Golo (kepala kampung).

Bentuk Lodok

Yang unik dari lahan pertanian dengan sistem lodok ini adalah bentuknya yang menyerupai sarang laba-laba, seperti yang tampak pada sawah lingko di kampung Poco Rutang. Bagian tengah menjadi titik nol dari tanah ulayat yang dibagi-bagi. Polanya dengan menarik tali panjang dari titik tengah (lodok) hingga ke bagian terluar (cicing) sehingga membentuk sarang laba-laba. Dengan demikian, bagian yang kecil berada di bagian dalam (tengah) dan keluarnya makin lama semakin lebar. Bentuk sarang laba-laba tersebut merupakan transformasi bentuk bagian dalam Mbaru Gendang. 

Istilah lingko Lodok belum membuming di Indonesia maupun di dunia internasional. Masih banyak wisatawan Nusantara maupun wisatawan mancanegara yang belum mengetahui lingko lodok. Lingko lodok merupakan salah satu warisan budaya masyarakat Manggarai dalam hal pembagian dan pengelolaan lahan pertanian. Bentuk Lingko lodok tidak hanya terjadi pada areal sawah tetapi juga pada  ladang. Namun, yang tampak jelas kelihatan bentuk lodok hanya pada areal sawah, seperti dilLingko lodok Poco Rutang.

Lingko Lodok terdiri atas dua kata, yaitu lingko dan lodok. Lingko artinya tanah komunal yang belum dibagikan atau tanah milik banyak orang. Lodok artinya sistem pembagian dan pengolahan lahan komunal berbentuk sarang laba-laba untuk usaha pertanian pada masyarakat Manggarai.

Pada lingko lodok, di tengah-tengah sawah atau kebun terdapat titik pusat dan pada bagian terluar dibuat lingkaran sebagai pembatas paling luar lahan. Semakin ke luar, semakin besar dengan ukuran yang sama baik lebar maupun panjangnya.

Lingko Lodok Poco Rutang adalah sebuah struktur pembagian tanah yang berbentuk sarang laba-laba yang terletak di Wae Nakeng Desa Poco Rutang Kecamatan Lembor. Lingko ini berada persis di ruas jalan Trans Flores Labuan Bajo - Ruteng. Untuk menempuh lokasi ini pengunjung membutuhkan waktu kurang lebih satu setengah jam dengan kendaraan roda dua atau roda empat. Jaraknya diperkirakan 65 km dari arah Barat Labuan Bajo.

Secara historis, Lingko Poco Rutang dibagi pada tahun 1955 yang diketuai oleh Bpk Ando (alm) selakuTu’a Golo Kampung Wae Nakeng pada waktu itu. Dia juga merupakan bapak dari Tua Golo sekarang (Petrus Sanur, yang sudah berumur 90 tahun). Lingko ini dibagi menjadi 23 moso (bagian) dengan bentuk dan ukuran yang sama. Lingko Lodok Poco Rutang adalah satu-satunya lingko lodok yang ada di wilayah persawahan Lembor yang masih dipertahankan struktur dan bentuknya.  Bapak Tua Golo berharap agar lingko ini tetap bertahan bentuknya dan tidak diperbolehkan untuk membangun sesuatu di atasnya baik pembangunan jalan maupun pembangunan rumah. Tempat ini dijadikan sumber hidup (hang piring) ujar Bapak Petrus.

Pengelolaan tanah milik bersama

Lingko merupakan lahan komunal yang dimiliki bersama oleh beberapa klan kumpulan beberapa klan (wa’u) pada satu golo. Istilah golo yang secara harafiah berarti bukit, merujuk pada sebuah permukiman tradisional. Meskipun demikian, golo sebagai pemukiman tidak harus di puncak bukit, bisa juga di kaki bukit, tergantung jauh-dekatnya mata air. Dari atas puncak bukit, orang akan melihat garis jari-jari yang membentang sampai ke kaki bukit yang tampak bulat. Dari tempat itulah muncul istilah langang (garis jari-jari/batas antara kebun), cicing (batas luar kebun) dan lodok (pusat lingkaran/pusat kebun/sawah). Dalam pengolahan sawah lodok, seperti menanam atau memanen, dimulai dari cicing (batas terluar kebun) menuju ke lodok (titik tengah). Cara kerja demikian sudah berlangsung berabad-abad lamanya.

Proses pembagian lingko

Dalam pelaksanaannya, Tu’a Teno akan mengadakan rapat awal (reke lodok) untuk mengagendakan waktu pembagian lingko. Rentang hari dari reke dengan hari-H pembagian lingko biasanya disebut lu’ang atau sepuluh hari. Ca lu’ang berarti sepuluh hari lagi. Setelah itu diadakan rapat menentukan rembo yang akan ikut dalam pembagian lingkoRembo adalah hak setiap panga untuk mengambil bagian dalam lodok lingko. Kalau lingko-nya luas maka semua panga bisa mendapat bagian. Sebaliknya, jika lingko-nya kecil, maka mereka yang tidak mendapat bagian akan diberikan kesempatan pada lodok lingko bon, yaitu lingko yang tidak mempunyai hubungan esensial dengan golo. Pada rapat yang sama, disepakati siapa yang akan mengambil bagian dalam sor moso atau acara pembagian lingko. Setiap panga biasanya sudah mengetahui anggota keluarganya yang membutuhkan lahan. Seandainya ada orang lain di luar wa’u atau yang disebut ata long tapi tinggal di golo dan ingin mengambil bagian dalam sor moso, maka dia akan mendekati Tu’a Teno dengan membawa ayam dan tuak. Prosesi pembagian lingko akan dimulai dengan acara tente teno, yaitu menancapkan kayu yang bernama haju teno ke lubang yang dibuat persis di pusat lingko. Dari kayu teno itulah nanti akan ditarik garis jari-jari lingkaran yang kemudian menjadi batas antarkebun (langang). Sebelum kayu teno ditancapkan, Tua Teno akan memegang sebutir telur ayam mentah dan mengucapkan sebuah doa harapan kepada Tuhan dan nenek moyang agar memberikan berkah rezeki. Telur ayam ini akan ditaruh di dalam lubang dimana kayu teno ditancapkan. Sesudah lubang ditutup dengan tanah, di sekeliling teno akan ditancapkan kayu-kayu kecil yang disebut lance koe. Pada lance inilah akan diikat tali (wase). Banyaknya tali tergantung jumlah panga dalam satu golo. Di luar lance itu akan dibuat langang.

Masih bertahan hingga sekarang

Sampai saat ini kearifan lokal masyarakat Manggarai dalam pengelolaan sumber daya pertanian ini masih terus dipertahankan di beberapa wilayah di Kabupaten Manggarai Barat. Selain untuk menjamin kebutuhan pangan masyarakat setempat, sistem ini juga berperan dalam menjaga kelestarian sumber daya alam. Penggunaan Lodok paling tampak pada lahan sawah, tetapi sesungguhnya semua lahan pertanian di Manggarai dibagi menurut sistem ini. Sistem lodok sudah ada sejak abad ke-16, namun, lingko Lodok Poco Rutang yang ada di Wae Nakeng, Desa Poco Rutang baru bentuk tahun 1955.

Lingko Lodok Poco Rutang is an Agrarian Cultural Heritage

Wae Nakeng Village Community

Lodok is a system of managing and developing communal land (lingko) in the form of spider webs for agricultural businesses in the Manggarai community. The lodok distribution system is very unique, it can only be found in Manggarai. Communal management of agricultural land has been going on for centuries. This distribution is carried out to guarantee the basic rights of all residents in the local area to obtain agricultural land. The distribution of land is carried out by Tu'a Teno (Traditional Head of the agricultural land division) in collaboration with Tu'a Panga (who heads several family groups) and Tu'a Golo (village head).

Lodok shape

What is unique about agricultural land using the lodok system is that its shape resembles a spider's web, as seen in the Lingko rice fields in Poco Rutang village. The middle part is the zero point of the communal land that is divided. The pattern involves pulling a long rope from the center point (lodok) to the outermost part (cicing) to form a spider's web. Thus, the small part is on the inside (middle) and the exit gets wider and wider. The shape of the spider web is a transformation of the inner shape of Mbaru Gendang.

The term lingko Lodok has not yet become popular in Indonesia or internationally. There are still many domestic and foreign tourists who don't know about Lingko Lodok. Lingko lodok is one of the cultural heritages of the Manggarai people in terms of the division and management of agricultural land. The Lingko lodok form does not only occur in rice fields but also in fields. However, what is clearly visible is the lodok form only in rice fields, such as the dilLingko lodok Poco Rutang.

Lingko Lodok consists of two words, namely lingko and lodok. Lingko means communal land that has not been distributed or land belonging to many people. Lodok means a system of dividing and cultivating communal land in the form of a spider's web for agricultural businesses in the Manggarai community.

In lingko lodok, in the middle of the rice field or garden there is a central point and at the outermost part a circle is made as the outermost boundary of the land. The further out, the bigger it is with the same size in both width and length.

Lingko Lodok Poco Rutang is a spiderweb-shaped land division structure located in Wae Nakeng, Poco Rutang Village, Lembor District. Lingko is located right on the Trans Flores Labuan Bajo - Ruteng road. To reach this location, visitors need approximately one and a half hours by two-wheeled or four-wheeled vehicle. The distance is estimated to be 65 km west of Labuan Bajo.

Historically, Lingko Poco Rutang was divided in 1955, chaired by Mr Ando (late) as Tu'a Golo Kampung Wae Nakeng at that time. He is also the father of the current Tua Golo (Petrus Sanur, who is 90 years old). This Lingko is divided into 23 moso (parts) with the same shape and size. Lingko Lodok Poco Rutang is the only Lingko Lodok in the Lembor rice field area that still maintains its structure and shape. Mr Tua Golo hopes that this lingko will maintain its shape and that nothing will be allowed to be built on it, be it road construction or house construction. This place is used as a source of life (hanging plates) said Mr. Petrus.

Lingko distribution process

In its implementation, Tu'a Teno will hold an initial meeting (reke lodok) to schedule the time for distributing the lingko. The span of days from reke to the D-day of lingko distribution is usually called lu'ang or ten days. Ca lu'ang means ten more days. After that, a meeting was held to determine the rembo who would participate in the distribution of the lingko. Rembo is the right of every panga to take part in lodok lingko. If the lingko is large then all pangas can get a share. On the other hand, if the lingko is small, then those who do not get a share will be given the opportunity to lodok lingko bon, namely lingko that does not have an essential relationship with the golo. At the same meeting, it was agreed who would take part in the sor moso or lingko distribution event. Each panga usually knows which family members need land. If there is another person outside the wa'u or what is called ata long but lives in golo and wants to take part in sor moso, then he will approach Tu'a Teno with chicken and palm wine. The lingko distribution procession will begin with the tente teno event, namely sticking wood called haju teno into a hole made right in the center of the lingko. From the teno wood, the radius of the circle will be drawn which will then become the boundary between the gardens (langang). Before the teno wood is inserted, Tua Teno will hold a raw chicken egg and say a prayer of hope to God and the ancestors to give blessings of good fortune. This chicken egg will be placed in the hole where the teno wood is inserted. After the hole is covered with soil, small pieces of wood called lance koe will be planted around the teno. A rope (wase) will be tied to this lance. The number of ropes depends on the number of pangas in one golo. Outside the lance it will be made langang

Still survives to this day

Until now, the local wisdom of the Manggarai people in managing agricultural resources is still maintained in several areas in West Manggarai Regency. Apart from ensuring the food needs of local communities, this system also plays a role in preserving natural resources. The use of Lodok is most visible in rice fields, but in fact all agricultural land in Manggarai is divided according to this system. The lodok system has existed since the 16th century, however, the Lodok Poco Rutang lingko in Wae Nakeng, Poco Rutang Village was only established in 1955.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

ODW Gua Batu Cermin

Situs Prasejarah Liang Verhoeven

Tete Kilu dan Kenangan yang Terlupakan